KOTA dan KOENTOWIJOYO

Kotaku yang jauh
padam lampu-lampunya
angin menerpa
lorong-lorong jelaga

Kotaku yang jauh
menyerah pada malam
seperti di siang hari
ia menyerah
pada kekosongan

Tuhan
nyalakan neon-neon itu.
(Kota, Kuntowijoyo)

Sebagai orang yang akan melakukan perjalanan. Kita tentu akan memilih titik mula untuk menandai, memperjelas dan mempermudah dalam menghitung seberapa jauh kaki melangkah, seberapa lama perjalanan dilangsungkan dan kemungkinan-kemungkinan apa saja yang bakal terjadi.

Sebuah perjalanan pada dasarnya adalah pengharapan. Harapan yang hadir berkat pembacaan pada yang mula, yang akan berlangsung dan akan datang. Akhirnya perjalanan perlu dilangsungkan dengan persiapan dan pertimbangan matang, rencana-rencana dan percobaan-percobaan berkonsekuensi.

Tak terkecuali Kuntowijoyo. Ia agaknya manusia rasa komplit, sebab predikat sejarahwan, intelektual, akademisi, aktivis gerakan, sastrawan, dan budayawan tersemat pada dirinya. Gagasan dan pemikirannya menghadirkan sesuatu yang baru, mendalam, kritis dan berpihak pada yang lemah dan terlemahkan dalam khasanah pemikiran dan gerakan sosial di Indonesia. Hal tersebut sebagaimana termaktub dalam bukunya yang berjudul: Paradigma Islam: Interpetasi untuk Aksi. Diberi kata pengantar dan dieditori oleh seorang yang menekuni dunia aktivisme hingga akhir hayatnya, A.E Priyono yang telah meninggal dunia kemarin. Semoga Tuhan senantiasa memberi rahmat-Nya kepada mereka.

***

Mulanya adalah kota. Kuntowijoyo memilihnya sebagai titik mula untuk merenung dan melahirkan pemikiran-pemikiran yang lebih jernih dan bernas soal kehidupan sosial, ekonomi, politik, sejarah, dan budaya di Indonesia.

Hidup dengan logika ekonomi dan modal suatu kelas baru terlahir. Suatu kelas yang menjadi basis sosial mewujudnya kapitalisme. Kelas bernama borjuasi. Sejarah hidupnya melahirkan kota, mengubah wajah eropa, dari Kebebasan hak-hak ekonomi dan politik yang sempit menjadi luas.

Kota sebagai anak kandung borjuasi tumbuh dan berkembang ke seluruh dunia. Anak kandung yang baik membawa semangat yang sama dengan induknya yaitu ketamakan, saling bersaing dan rasional. Semangat yang sama mewujud dalam bentuk dan gaya berbeda-beda. Timbulah anekarupa kota di seluruh dunia.

Keanekarupaan kota dengan semangat yang sama mengalami kemajuan sekaligus menimbulkan cultural lag, menyebabkan kepincangan dan krisis. Kota mengandung itu dari kelas dan sistem yang melahirkan dan menjalankannya.

Kurang lebih begitu konklusi Kuntowijoyo dalam skripsinya berjudul: Peran Borjuasi dalam Transformasi Eropa. Ia menutup skripsinya itu dengan sebuah pertanyaan, begini: Apakah borjuasi masih mempunyai peranan ataukah ia harus menghentikan peran itu dan menyerahkan peran itu pada kelas lain, misalnya proletariat?

Hal tersebut diulang dan ditegaskan kembali Kuntowijoyo, sebagaimana puisi pembuka diatas. Kota sebagai titik mula dan penanda berkuasanya kelas borjuasi dengan kapitalisme sistemnya ternyata masih saja mengalami kegelapan, kekosongan, kehampaan dan kelemahannya hingga sekarang ini.

Eropa, tempat lahirnya kota mula-mula menyadarinya jauh-jauh hari. Rasionalisme saja ternyata belum cukup. Pun dengan empirisme ataupun positivisme. Spirit modern dan pencerahan yang mengusung kredo: “Aku berfikir maka aku ada” memperoleh kritik selanjutnya hingga sekarang. Kritik terus dilangsungkan perihal sumber pengetahuan dan turunannya yang menjelma dalam sistem sosial, ekonomi dan budaya untuk mengatasi permasalahan manusia dan bumi akibat manusia.

Dari hiruk pikuk pertentangan sumber pengetahuan dan turunannya yang terus berkelindan guna mengatasi masalah manusia dan bumi seperti itu, Kuntowijoyo mencetuskan paradigma baru dalam ilmu sosial yang dikenal dengan Ilmu sosial profetik. Sebuah ilmu sosial yang hendak menajalankan misi kenabian berupa humanisasi, liberasi, dan transendesi. Maka paradigma diramu dengan bertumpu pada apa yang disebutnya sebagai epistemologi strukturalisme transendental. Epistemologi tidak menegasikan sesuatu yang lama, rasio dan empiris, malah menghadirkan kitab suci yang berasal dari Wahyu yang maha transenden sebagai basis struktur. Hubungan ketiganya membentuk struktur yang konsisten, koheren dan sejajar.

Kuntowijoyo percaya  dengan begitu manusia dapat keluar dari jerat dirinya sendiri atau antroposentrisme. Terhindar dari mengalami split personality. Dan akhirnya manusia mampu mengabsenkan abnormalitas dalam masyarakat .

Tidak puas sampai disitu saja, Kuntowijoyo lalu melebarkan paradigmanya ke wilayah lain yang digemarinya dan penting menurutnya bagi perkembangan baik manusia maupun budaya, sastra. Ia menyebutnya sebagai sastra profetik. Ini jauh lebih tegas dan jelas sebab Kuntowijoyo memperkenalkannya dengan sebuah karangan berjudul: Maklumat Sastra Profetik: kaidah, Etika, dan Struktur Sastra. Karangan hendak mengingatkan dan mengajak bahwa tugas sastrawan yang sangat relevan dan fungsional ialah mengembalikan makna hidup pada kemanusiaan .

Kota mendorong Kuntowijoyo berikhtiar dengan menghadirkan Tuhan kemudian bertawakal. Ikhtiar sebagai cara untuk mengabdi kepada Tuhan dan tanah air. Begitu ia menutup Maklumatnya, bersetuju dengan Paul Goodman.

Dan mari kita tutup tulisan dengan berdoa supaya borjuasi segera diberi kesadaran, lenyap kapitalisme, kota menjadi terang dan cerah, manusia kembali memperoleh makna hidup lalu kemanusiaannya, dan peradaban dibangun dan berdiri dengan kokoh dan teduh dengan sajak terakhir Kuntowijoyo diawal tulisan. Tuhan/ nyalakan neon-neon itu/

Diterbitkan pertama kali di Buletin Mlaku! Edisi XII, April 2020.

Kota Tumbuh di Atas Pohon

-1-

Inilah sang calon tuan tanah dengan sejuta pohon: Jorge de Figueiredo Correia. Syahdan, Raja Portugal mengibahkan satu wilayah kepadanya sebagai tanda persahabatan. Tak hanya memberi itu, sang raja juga memberikan penduduk liar dan pohon-pohon rimba Brasil. Lantas Matahari menampakan dirinya, pohon kakao berhasil mengubah wajah hutan belantara yang beraneka ragam menjadi satu warna. Pohon dibawa oleh para kolonial dari Eropa pada abad 19. Masa panen pun tiba, kuning keemasan menggantung dimana-mana, kakao mendulang untung begitu menjanjikan. Ia mengubah kota, jalan-jalan dibangun, toko-toko mulai berjejejar, restoran dan bar pun tumbuh, orang-orang senang berkunjung. Inilah kisah kolonialisme dengan basis pepohonan pada abad ke-19—sejarah yang sebenarnya terjadi sekian abad di beberapa wilayah, termasuk di Indonesia.

Semenetara itu, Najib sebagai salah satu warga yang menggantungkan hidup pada bar, ditinggal tukang masaknya, seorang perempuan tua bernama Filomena, di tengah kota yang sedang mangalami kemajuan pesat. Gabriel, gadis berkulit kayu manis dan beraroma cengkih, adalah salah satu rombongan orang pedalaman yang sedang melakukan perjalanan untuk mengadu nasib di kota kakao, Ilheus. Di tengah perjalanan mencari tukang masak Najib bertemu dengan Kolonel Ramiro Bastos pemilik perkebunan kakao yang luas, yang pernah menjadi wali kota dua periode, sedang duduk di Plaza Seabra menikmati secangkir kopi. Najib dipaksa berhenti dan mendengarkan kegeramannya pada Mundinho Falcao si pendatang baru banyak tingkah yang tengah berusaha menggeser pengaruhnya.

Jorge de Figueiredo Correia, Kolonel Ramiro Bastos, dan penduduk Ilheus lainnya adalah kisah-kisah manusia yang hidup di atas pohon kakao. Kisah kehidupan mereka ditulis oleh Jorge Amando dengan memukau dalam Gabriela, Cengkih dan Kayu Manis (2014). Saat kita membacanya, kita mendapat petunjuk perihal tumbuhnya kota di daratan Amerika, Brasil, Ilheus. Negeri dalam gambaran Eropa dipenuhi penduduk liar, suku Indian, dan pohon-pohon rimba. Ilheus menjadi kota pertama kali berkat penanaman tebu dan pendirian pabrik gula melalui pembantaian dan perbudakan atas penduduk liar setempat. Tanah menemui tandus dan mati. Tanpa diduga muncul kakao pertama. Pembiakan skala besar kakao dilangsungkan melalui binatang kinkajou.

Kakao menjadi primadona. Semua orang berebut ingin memiliki perkebunan dan menanamnya. Kota Ilheus melaju cepat. Ekonominya naik, infrastruktur membaik, muncul organisasi sosial masyarakat berdasar minat dan kesukaan, perpolitikan menjadi dinamis dan kebudayaan tumbuh. Kakao dengan telak mengganti tebu dan mengubah kota lesu kembali segar dan semakin garang melebihi awal munculnya.

-2-

Kota di atas pohon

Dengan punggung telanjang di bawah matahari yang membakar, para pekerja memetik buah kakao dari pohon dengan sabit yang diikatkan pada tiang panjang. Pekerjaan itu dimulai saat fajar menyingsing berlanjut hingga senja, nyaris tanpa waktu istirahat pada tengah hari. Kolonel Melk Tavares, yang menunggangi kudanya dan diikuti oleh mandornya, berkuda melewati pepohonan kakao mengawasi pekerjaan. Sesekali dia turun memarahi kaum perempuan dan anak-anak. “Kemalasan macam apa yang terjadi di sini? Cepatlah naik ke sana!” Cepatlah, dasar perempuan. Bersantailah ketika kau mencari kutu, bukan ketika kau membelah kakao.” Kolonel berkeliling kembali, meneliti pepohonan. “Siapa menggarap bagian ini?” para pekerja menoleh untuk melihat dan Fagundes si negro menjawab. “Aku.” “Kemarilah.” Kolonel  menunjuk pepohonan. Di antara dedunan rimbun dahan-dahan tertinggi, beberapa buah masih terlihat. “siapa yang membayarmu, binatang kinkajou atau aku? Menurutmu, aku menanam untuk mereka? Dasar gelandangan pemalas, kerjaanmu cuma pergi ke kota mabuk-mabukan.”

Kolonel Melk Tavares, para pekerja dan fagundes rerpresentasi perihal kemajuan kota dicapai melalui cara-cara kekerasan dan tidak manusiawi. Pohon sebagai seimbol keteduhan dan mengayomi tak meresap dalam sanubari, diselewengkan atas nama keuntungan. Kemajuan kota ternyata menghasilkan manusia-manusia yang takut, kesepian dan frustasi. Hal tersebut juga terjadi di Indonesia yang kisahkan oleh Multatuli dalam novelnya berjudul Max Havelaar perihal penanaman tanaman kopi.

Kota berkembangbiak atas gairah menanam. Sudah pasti menanam tanaman paling menguntungkan. Pertimbangan untung rugi merupakan alasan yang tepat untuk menerapkan sistem monokultur. Sistem monokultur anak kandung industrialisasi membawa mesin dan efisiensi. Ia menghilangkan keaneka ragaman hayati, menghadirkan dengan cepat hama dan penyakit tanaman dan mengancurkan keseimbangan alami ekosistem dunia.

Manusia befikir keras menanggulangi, menyembuhkan tanaman, menstabilkan bahkan meningkatkan produksi. Dengan jalan merancang dan membangun industri obat tanaman tidak ramah lingkungan. Udara lusuh, air keruh dan berbau dan tanah mendekati mandul. Lagi, manusia berfikir dan berikhtiar menyuburkan tanah, membuat ramuan dengan efek samping mengancam, tidak begitu dihiraukan.

Kolonel Ramiro memahami dan bisa menerima kabaret, pesta pora gila-gilaan dalam kehidupan malam di ilheus. Kaum lelaki memerlukan ini: dia sendiri pernah muda. Yang tidak bisa dipahaminya adalah klub tempat kaum lelaki dan perempuan mengobrol hingga larut malam, tempat mereka menarikan dansa-dansa baru itu (jika bisa disebut sebagai dansa), temapat kaum perempuan bersuami berputar-putar dalam pelukan lelaki yang bukan suami mereka- itu cabul!

Cara pandang, sikap dan perilaku manusia turut serta berubah seiring berubahnya kota. Sebab penanaman tanaman secara monokultural merupakan buah dari Industrialisasi. Monokultural sistem penamaman yang mementingkan diri sendiri merasuk dalam kota dan manusianya.

Alam memiliki hukum sendiri untuk memungkinkan kelangsungan ekosistem yaitu persaingan, kelaparan, pemangsaan dan penyakit.  Manusia gigih mengatasi dengan semangat untung sendiri. Keberhasilan mengatasi pemangsaan telah dilakukan manusia jauh-jauh hari, ketika cara hidup berpindah-pindah resmi ditinggalkan. Manusia menyatukan diri mengatasi kendali alamiah, persaingan, dengan mendirikan kawanan penjaga perdamaian.

Sisi lain keingingan menanam berbanding lurus dengan keinginan memiliki lahan. Pastilah terjadi pengalihfungsian lahan. Perkebunan meluas, kebutuhan akan pekerja meningkat, para pekerja berduyun berdatangan. Sebagaimana peribahasa “Ada gula ada semut”. Kota tumbuh pesat, berbuah manis mengundang manusia untuk mengadu nasib dan menetap. Sebagiamana tergambar dalam novel berjudul Gabriel, Cengkih dan Kayu Manis. Mari kita simak: “kota berkilau oleh etalase toko-toko yang terang dan berwarna –warni; banyak toko baru dibuka; para penjaja barang menjelajahi desa dan hanya muncul di ilheus di pasar tumpah mingguan.”

Kota membutuhkan lahan untuk memenuhi ledakan penghuni. Lahan menipis, kota mencari cara, membangun dengan sedikit lahan, menyusunnya menuju angkasa. Menipisnya lahan akibat pembangunan membuat aneka macam mahkluk hidup selain manusia kehilangan tempat tinggal, bermigrasi atau tetap tinggal dengan perubahan sikap yang penuh anomali. Jamak kita lihat akhir-akhir ini, monyet berkeliaran di jalanan unjuk gigi, mengendarai sepeda, pergi ke pasar, menari dan menenteng kotak berisi pundi-pundi rupiah menghampiri para penonton bahkan pengguna jalan. Keanomalian juga terjadi pada bajing dalam buku karangan seno gumira ajidarma berjudul Tiada Ojeg di Paris (2015). Mari kita simak: “suatu pagi, sekilas terlihat oleh saya seekor bajing berlari di atas kebel listrik tebal yang melintang di atas jalan. Jalan yang saya lalui pagi itu adalah suatu jalan tembus, tentu saja semua orang ingin memanfaatkanya. Sehingga dengan segera jalan tembus itu lantas berkategori “padat merayap”-artinya di dalam mobil yang merayap perlahan-lahan, saya bisa berpikir sejenak tentang makna keberadaan bajing yang berlari lincah di atas kabel listri itu.”

Kota melupa muasal dari pohon. Sejatinya pohon adalah mahluk yang senantiasa menghidupi dan memberikan keseimbangan. Pesatnya kota menghadirkan juga anomali dalam kehidupan manusia. Tumbuhnya ketimpangan ekonomi, yang kaya makin kaya yang miskin makin miskin, berimbas pula pada ketimpangan sosial. Kota menjadi garang. Pencopetan, perampokan, pemerkosaan dan pembunuhan menghias di sudut-sudutnya. Manusia menjadi gersang, tersedot energinya hanya untuk bekerja siang malam. Sebagaimana terungkap dalam puisinya kuntowijoyo berjudul Kota (1976): Kotaku yang jauh/ padam lampu-lampunya/ angin menerpa/lorong-lorong jelaga/ kotaku yang jauh/ menyerah pada malam/ seperti di siang hari/ia menyerah pada kekosongan/ Tuhan/ nyalakan neon-neon itu.

Kota dan Kerinduan pada Pohon 

Kota sudah panas dan pengap. Ia tergantikan asap pekat yang menyembul-nyembul ke singgasana tuhan dan manusia. Kota telah lama berjarak pada pohon. Rindu adalah hadirnya jarak yang awalnya satu antara dua entitas lantas mengalami pemisahan. Kota mengharap kehadiran pohon, ia merindunya. Kerinduan kota terekam dalam gambar pohon yang terpampang di mall-mall, grafiti, papan iklan perumahan dan tiang listrik dengan hiasan daun-daun sintesis.

Kota mengatasi kerinduan lalu kesepian pada pohon dengan gerakan membangun seribu taman ataupun hutan dalam kota. Satu sisi, kita jumpai di pinggir-pinggir kota aktivitas pembabatan hutan dan penanaman beton masih terus berjalan. Kerinduan kota pada pohon ternyata hanya manipulasi, sementara waktu. Tidak mewujud dalam laku. Bukan kerinduan.

Kesia-sian merindukan pohon dapat kita temukan dalam puisinya Abdul Wahid B.S yang berjudul Opera Pohon: Hampir seluruh jalan yang/ berlari, kukejar dan aku bersama istri/ dan anaku, menghianati kepedihan pohon-pohon/ yang telah terbongkar traktor, demi keindahan yang/ lain, dan atas nama modernisasi/ mungkin di situ telah kudengar ada isakan/ tangis darah yang mengalir atau percakapan/ percakapan nasib yang mulai mengering/ atau seperti ada suara-suara pertempuran yang/ tak pernah selesai dan di sana aku masih menjeritkan adzan di atas debu-debu/ atau lintah yang perlahan mengambang/ dalam matamu!

(Dimuat dalam Buku REMBUYUNG : Sehimpun Esai Sastra Dan Flora Oleh Penerbit Taman Budaya Jawa Tengah dan Bilik Literasi)

Menjadi Kota

Lebaran kita temukan keramaian di kampung dan kota – kota, peristiwa melepas rindu, berbagi pengalaman kerja dari kota dibagi cuma – cuma kepada sanak family ataupun saudara dan akhirnya mengajak mengikuti jejak mengukir cerita dikota dengan fantasi keriuhan dan kemudahan mendapat akses kerja. Mudik menjadi semacam promosi sekaligus rekutmen penghuni kota secara sukarela oleh orang – orang desa yang sudah lama ke kota karena pengalaman hidup di kota penuh dengan keindahan dan kemudahan menumpuk kekayaan, jarang diceritakan kesukaran dan proses menjadi kota. Antusiasme orang – orang desa menuju kota begitu tinggi, berbanding terbalik dengan tingkat pendidikan seharusnya.

Berbincang mengenai kota adalah mengurai kemunculanya dalam sejarah beserta perkembanganya, kota dengan atribut perindustirian dan perdagangan pernah dipaparkan oleh kuntowijoyo dalam skripsinya yang kemudian menjadi buku berjudul Peran Borjuasi Dalam Transformasi Eropa, disana diterangkan bahwa kota mulai tersemat identitasnya pada abad ke 10 karena eropa tengah mengalami kekacauan yang melahirkan serpihan – serpihan kerajaan beserta pertahanannya berupa pendirian benteng – benteng untuk melindungi tanah dan rakyat oleh para pangeran. Hal ini bertujuan agar para pengeran tetap menjadi pangeran dan menetapkan tanah sebagai hak milik yang bisa diwariskan turun temurun.

Di sekitaran benteng lama kelamaan ramai dengan aktifitas manusia dan berdiri banyak tempat tinggal, orang – orang disekitar benteng disebut penduduk benteng, dalam bahasa jerman benteng yaitu burgus dan penguninya dengan bourgeois, keramaian benteng disebabkan oleh aktifitas ekonomi (perdagangan).

Perubahan masyarakat dari tani menjadi pedagang, dari pedagang desa menjadi pedagang berkelana yang menghuni pinggiran benteng banyak diterangkan dalam kajian sosial disebabkan oleh doktrin agama yahudi yang bebas sebagaimana kristen dengan pelarangan perdagangan dan riba karena menjunjung tinggi kejujuran dan kasih sayang, dan juga ada suprlus hasil tanah yang mau tak mau harus ditukar ataupun dijual.

Kota dan desa menjadi berbeda dengan peruntukannya yaitu tanah dan pasar, bertani dan berdagang/berindustri, benteng/pertahanan dan tidak. Sering mendengar term borjuis, bahwa itu tidak terlepas dari kemunculan kota.

World bank merilis sebuah artikel yang menunjukan bahwa pertumbuhan kota indonesia rata – rata 4,1% pertahun dan pada tahun 2025 diperkirakan 68% penduduk indonesia adalah warga kota.

Sungguh luar biasa bukan, kurang dari 50% yang tersisa di desa, belum tahu atas alasan apa yang tertinggal masih bertahan. Apakah ini mengenai kesadaran diri akan kemampuannya, ataukah desa memberikan kehidupan yang bahagia sehingga mereka mau bertahan barangkali sampai ingin membangun?

Keramaian menuju kota laksana kerajaan majapahit yang maritim menuju ke pedalaman, meninggalkan laut. Kenapa seperti itu? Kalau memakai perbedaan desa dan kota adalah perihal bertani (tanah) dan berdagang (kota). Disambung prediksi dunia mengatakan krisis besar dunia yang akan terjadi mengenai pangan dan energi, maka sudah seharusnya kesadaran tetap tinggal di desa menjadi penting dan perlu untuk diupayakan. Memperkuat penduduk desa berarti menyiapkan lumbung pangan masa depan. perkara lahan, benih, pupuk, dan pengairan soal bagaimana kebijakan daerah dan pusat bersesuaian dan berkomitmen tidak mengenai pembangunan yang ramah lingkungan dan mengakomodir kebutuhan masa depan.

Toh sekarang kementrian desa punya program pembangunan dan pengembangan desa dengan adanya dana desa. ini laksana sekali mendayung 2 atau 3 pulau terlampaui. Integrasi peran kementrian, menekan laju urbanisasi, menyiapkan lumbung pangan dan juga menyimbangkan ekosistem desa dan kota. Data yang ada dari world bank juga menyebutkan bahwa ternyata infrastruktur kota belum cukup memadai, hal ini mengakibatkan jurang kemiskinan semakin lebar diikuti kesehatan yang buruk dikarenakan ternyata hanya 48% rumah tangga yang menikmati air bersih, fasilitas air bersih hanya ada di 11 dari 98 kota, 2% yang terhubung dengan sanitasi pusat dan lahan di perkotaan untuk tiap orang kurang dari 40 meter persegi.

Sungguh meng-iuh-kan tinggal di kota. Seabreg kenestapaanya membuat kita lupa dan tidak takut untuk menuju kota (mengada). Kota yang identik dengan kemajuan, serba ada, canggih, dan gedung – gedung mewah menjulang ke-angkasa, menutup mata dan nalar sehat kita.

Ciri yang dimiliki kota adalah suatu yang lahir dari kesadaran berfikir secara rasional, pasti dan terukur. Syarat akan ke-material-an dan perkembangan atau bisa kita sebut sebagai ekosistem yang baik bagi peradaban tumbuh. Will durant pernah berkata bahwa peradaban bermula di gubuk petani tapi ia tidak berkembang kecuali di kota-kota.

Desa dengan keasrian lingkungan hidupnya, kental kolektivitasnya dan hiruk pikuk kecuali yang berasal dari alam seperti gemericik air, semilir angin dan kicauan burung merupakan medium mengasah intuitif, penghasil nilai-nilai.

Desa dan kota adalah dua ekosistem dari satu ekosistem. Kesatuan yang saling bersinergi dan bersimbiosis mutualisme secara setara. Bukankah menjadi kota adalah sama dengan menjadi desa. Apa mau kita paksa semuanya menuju dan menggantikan desa menjadi (bentuk) kota? Lantas siapkah kita menemui kepunahan?