Sejak kecil saya sudah diceritakan bahwa kiamat sebentar lagi akan datang. Dunia sudah renta. Tanda-tandanya banyak bermunculan satu persatu. Saya disuruh untuk banyak beribadah dan memperbaiki diri sebelum hari itu tiba agar bisa terhindar memasuki neraka.
Kini saya telah menginjak dewasa, umur hampir berkepala tiga, kisah kiamat yang sebentar lagi itu masih terus diingatkan dan semakin masif. Di ceramah, pengajian, baik langsung maupun tidak langsung. Ia selalu terngiang dalam kepala, menghantui saya. Dan saya meski tetap bersyukur hidup dilingkungan yang peduli dan gelimang pengingatan. Ibadah hendaknya tidak dilupakan dan meski istiqamah ditunaikan.
Peristiwa kiamat memang ampuh, saya kadang tergerak melakukan tindakan perbaikan ibadah ritus. Walau selang beberapa hari kemudian kehidupan berjalan, dunia sebagaimana biasanya, lalu saya melupakannya. Apa yang salah dengan saya? Apakah saya tidak beriman? Atau saya sedang dilalaikan oleh dunia yang fana ini.
Kiamat sebagai sebuah narasi tidak pernah kehilangan waktu dan ruangnya. Narator kiamat tak pernah patah arang mengambil setiap kejadian untuk mengakait kukuhkan dengan kiamat. Meracik cepat-cepat dan menyajikan hidangan tanpa pikir panjang, yang disana-sini ditemukan banyak kementahan, dalam suatu perjamuan. Tidak heran bila dari dulu hingga sekarang seolah-olah kiamat hendak datang dan akhirnya kita menjadi mules, malas, dan bosan menanti kedatangnya. Lalu memilih berkehidupan seolah tidak pernah akan ada akhir zaman.
Salah satunya wabah yang terjadi Hari ini, COVID-19. Tindakan penghentian penyebaran wabah bisa dilakukan dengan mengurangi kerumunan. Aktivitas yang menghadirkan kerumunan seperti beribadah di tempat ibadah secara berjamaah sementara waktu perlu dihentikan.
Para narator kiamat senantiasa sigap menghadang. Terbukti Rumah-rumah ibadah yang sengaja disepikan, demi keselamatan manusia, yang merupakan inti ajaran agama, langsung saja digunakan untuk menguatkan dalil kiamat hendak tiba. Orang-orang kebanyakan, salah satunya adalah saya,tentu merasakan kebimbangan, dilema. Tempat ibadah yang sepi adalah salah satu tanda kiamat. Narator kiamat itu barangkali benar. Namun mengafirmasi itu berarti membiarkan virus menyebar, kematian dimana-mana dan kiamat akan berlangsung.
Alih-alih mengajak manusia menuju ke jalan Tuhan, narator kiamat kadang malah mendorong kita melupakan bumi, sebuah tempat yang telah memberikan manusia predikat khalifatul fil ardh, pemimpin bumi yang akan memakmurkan bumi.
Bumi yang makmur bagi semua penguninya berada di tangan pemimpinnya. Pemimpin yang dibekali akal, hati, Kehendak, dan petunjuk lantas mampu meelaborasi semua itu dalam laku, akan mencipta keseimbangan dan keberlanjutan, tentu. Itu adalah pemimpin yang diharapkan, sebaik-baiknya pemimpin.
Keberhasilan memakmurkan bumi oleh manusia bukan hanya mampu menghentikan ketakutan akan kiamat, namun lebih jauh lagi, mampu memberikan harapan bahwa yang fana adalah waktu, kita (manusia) abadi.
Kita agaknya tidak perlu lagi diberikan narasi kiamat secara over apalagi serampangan untuk berubah dan bertindak melakukan kebaikan. Keberlebihan pada ketakutan pada kiamat memang betul mendorong kita melakukan kebaikan namun tindakan yang bermotifkan ketakutan seperti itu malah akan menjauhkan kita dari tugas-tugas pemakmuran dan lupa menjadi manusia.
Yang Kita butuhkan agaknya suatu pengingatan tentang penciptaan awal manusia, penunjukan manusia sebagai pemimpin di bumi dan tugas-tugas yang diembannya. Dari konsep hingga Praksis yang terus diperbaruhi menyesuaikan ruang dan waktu. Pengingatan yang begitu lantas disemarakkan di khutbah jum’at dan hari penting lainya, ceramah atau pengajian di rumah, mushola, dan masjid pedesaan, perkampungan dan perkotaan mendampingi pengingatan kiamat yang menakutkan.
Dan akhirnya kita bisa membayangkan lalu mempraksiskan dalam berkehidupan, beribadah dengan riang gembira, tenang dan damai. Kiamat lantas gagal terjadi dan tidak pernah ada. Semoga.
Diterbitkan pertama kali di Buletin Mlaku! Edisi XV, Mei 2020