KOTA dan KOENTOWIJOYO

Kotaku yang jauh
padam lampu-lampunya
angin menerpa
lorong-lorong jelaga

Kotaku yang jauh
menyerah pada malam
seperti di siang hari
ia menyerah
pada kekosongan

Tuhan
nyalakan neon-neon itu.
(Kota, Kuntowijoyo)

Sebagai orang yang akan melakukan perjalanan. Kita tentu akan memilih titik mula untuk menandai, memperjelas dan mempermudah dalam menghitung seberapa jauh kaki melangkah, seberapa lama perjalanan dilangsungkan dan kemungkinan-kemungkinan apa saja yang bakal terjadi.

Sebuah perjalanan pada dasarnya adalah pengharapan. Harapan yang hadir berkat pembacaan pada yang mula, yang akan berlangsung dan akan datang. Akhirnya perjalanan perlu dilangsungkan dengan persiapan dan pertimbangan matang, rencana-rencana dan percobaan-percobaan berkonsekuensi.

Tak terkecuali Kuntowijoyo. Ia agaknya manusia rasa komplit, sebab predikat sejarahwan, intelektual, akademisi, aktivis gerakan, sastrawan, dan budayawan tersemat pada dirinya. Gagasan dan pemikirannya menghadirkan sesuatu yang baru, mendalam, kritis dan berpihak pada yang lemah dan terlemahkan dalam khasanah pemikiran dan gerakan sosial di Indonesia. Hal tersebut sebagaimana termaktub dalam bukunya yang berjudul: Paradigma Islam: Interpetasi untuk Aksi. Diberi kata pengantar dan dieditori oleh seorang yang menekuni dunia aktivisme hingga akhir hayatnya, A.E Priyono yang telah meninggal dunia kemarin. Semoga Tuhan senantiasa memberi rahmat-Nya kepada mereka.

***

Mulanya adalah kota. Kuntowijoyo memilihnya sebagai titik mula untuk merenung dan melahirkan pemikiran-pemikiran yang lebih jernih dan bernas soal kehidupan sosial, ekonomi, politik, sejarah, dan budaya di Indonesia.

Hidup dengan logika ekonomi dan modal suatu kelas baru terlahir. Suatu kelas yang menjadi basis sosial mewujudnya kapitalisme. Kelas bernama borjuasi. Sejarah hidupnya melahirkan kota, mengubah wajah eropa, dari Kebebasan hak-hak ekonomi dan politik yang sempit menjadi luas.

Kota sebagai anak kandung borjuasi tumbuh dan berkembang ke seluruh dunia. Anak kandung yang baik membawa semangat yang sama dengan induknya yaitu ketamakan, saling bersaing dan rasional. Semangat yang sama mewujud dalam bentuk dan gaya berbeda-beda. Timbulah anekarupa kota di seluruh dunia.

Keanekarupaan kota dengan semangat yang sama mengalami kemajuan sekaligus menimbulkan cultural lag, menyebabkan kepincangan dan krisis. Kota mengandung itu dari kelas dan sistem yang melahirkan dan menjalankannya.

Kurang lebih begitu konklusi Kuntowijoyo dalam skripsinya berjudul: Peran Borjuasi dalam Transformasi Eropa. Ia menutup skripsinya itu dengan sebuah pertanyaan, begini: Apakah borjuasi masih mempunyai peranan ataukah ia harus menghentikan peran itu dan menyerahkan peran itu pada kelas lain, misalnya proletariat?

Hal tersebut diulang dan ditegaskan kembali Kuntowijoyo, sebagaimana puisi pembuka diatas. Kota sebagai titik mula dan penanda berkuasanya kelas borjuasi dengan kapitalisme sistemnya ternyata masih saja mengalami kegelapan, kekosongan, kehampaan dan kelemahannya hingga sekarang ini.

Eropa, tempat lahirnya kota mula-mula menyadarinya jauh-jauh hari. Rasionalisme saja ternyata belum cukup. Pun dengan empirisme ataupun positivisme. Spirit modern dan pencerahan yang mengusung kredo: “Aku berfikir maka aku ada” memperoleh kritik selanjutnya hingga sekarang. Kritik terus dilangsungkan perihal sumber pengetahuan dan turunannya yang menjelma dalam sistem sosial, ekonomi dan budaya untuk mengatasi permasalahan manusia dan bumi akibat manusia.

Dari hiruk pikuk pertentangan sumber pengetahuan dan turunannya yang terus berkelindan guna mengatasi masalah manusia dan bumi seperti itu, Kuntowijoyo mencetuskan paradigma baru dalam ilmu sosial yang dikenal dengan Ilmu sosial profetik. Sebuah ilmu sosial yang hendak menajalankan misi kenabian berupa humanisasi, liberasi, dan transendesi. Maka paradigma diramu dengan bertumpu pada apa yang disebutnya sebagai epistemologi strukturalisme transendental. Epistemologi tidak menegasikan sesuatu yang lama, rasio dan empiris, malah menghadirkan kitab suci yang berasal dari Wahyu yang maha transenden sebagai basis struktur. Hubungan ketiganya membentuk struktur yang konsisten, koheren dan sejajar.

Kuntowijoyo percaya  dengan begitu manusia dapat keluar dari jerat dirinya sendiri atau antroposentrisme. Terhindar dari mengalami split personality. Dan akhirnya manusia mampu mengabsenkan abnormalitas dalam masyarakat .

Tidak puas sampai disitu saja, Kuntowijoyo lalu melebarkan paradigmanya ke wilayah lain yang digemarinya dan penting menurutnya bagi perkembangan baik manusia maupun budaya, sastra. Ia menyebutnya sebagai sastra profetik. Ini jauh lebih tegas dan jelas sebab Kuntowijoyo memperkenalkannya dengan sebuah karangan berjudul: Maklumat Sastra Profetik: kaidah, Etika, dan Struktur Sastra. Karangan hendak mengingatkan dan mengajak bahwa tugas sastrawan yang sangat relevan dan fungsional ialah mengembalikan makna hidup pada kemanusiaan .

Kota mendorong Kuntowijoyo berikhtiar dengan menghadirkan Tuhan kemudian bertawakal. Ikhtiar sebagai cara untuk mengabdi kepada Tuhan dan tanah air. Begitu ia menutup Maklumatnya, bersetuju dengan Paul Goodman.

Dan mari kita tutup tulisan dengan berdoa supaya borjuasi segera diberi kesadaran, lenyap kapitalisme, kota menjadi terang dan cerah, manusia kembali memperoleh makna hidup lalu kemanusiaannya, dan peradaban dibangun dan berdiri dengan kokoh dan teduh dengan sajak terakhir Kuntowijoyo diawal tulisan. Tuhan/ nyalakan neon-neon itu/

Diterbitkan pertama kali di Buletin Mlaku! Edisi XII, April 2020.

Pekarangan dan Benih-benih

Kita tengah hidup di zaman dimana perubahan cepat dan tergesa-gesa diadakan sungguh-sungguh, teknologi canggih saban hari dipamerkan. Perubahan dan pameran tersebut selalu meminta ada lagi, lebih baru, efektif, efisien, menguntungkan, dan memuaskan untuk salah satu pihak. Sungguh sebuah lahan yang tepat untuk semakin merimbunkan kembali individulisme dan kapitalisme.

Permintaan dari sikap dan tindak selalu kurang yang akut, rakus, seperti itu dapat kita saksikan melalui kegemaran dan kecintaan untuk selalu membangun, membangun, dan membangun yang absen kebijaksanaan dan kearifan. Dari benih itulah, individulisme dan kapitalisme berkembangbiak saling menopang. Maka tidak heran bila sawah, hutan, dan laut dipaksa, dialih fungsikan jadi deretan perumahan, hotel, pabrik, perkantoran dan aneka variasi tumpukan beton lainya. Sebuah Ekosistem baru individulisme dan kapitalisme dibentuk, semakin banyak dan luas, daya jangkauannya kian tak terbatas untuk menjarah semuanya. 

Tak terkecuali ruang diantara dan atau di sekitar rumah, pekarangan. Ruang hijau yang begitu dekat, yang kecil untuk masa kecil tumbuh mengenal kehidupan. Kekecilannya menyediakan suatu yang kompleks, intim dan berarti seperti Asupan udara segar, media pendidikan yang alami dan ramah untuk semua jenis usia, bahan permainan yang cocok bagi pembelajar jenis visual, auditori ataupun kinestik, tetumbuhan yang bermanfaat bagi pemenuhan pangan dan obat-obatan skala rumah tangga serta tipe hewan segala ukuran dengan suara yang menenangkan dan gerak atau tingkah laku yang memacu kesuburan tanah.

Eksistensinya telah dan sedang terancam. Sisanya yang sedikit di desa-desa telah dikepung dana desa. Dana untuk membangun dan mensejahterakan. Pembangunan dan kesejahteraan yang diukur dengan mensisihkan parameter kebahagian nonmateri. Pembangungan yang mengagungkan sesuatu yang fisik, yang materi, yang absen kesadaran ekologis didalamnya adalah sebentuk usaha mengasingkan manusia dari tanah yang melahirkannya, dari air yang menyusuinya. Pekarangan yang kecil dan tersembunyi menuju senjakala, apakah peradaban akan kembali bermula dari desa-desa.

***

Mengajak anak-anak Berpekarangan agaknya setali tiga uang dengan mengajak anak-anak untuk tidak main smartphone. Sebuah usaha yang sia-sia. Tapi Kesia-siaan toh tidak ada salahnya untuk dicoba dan dialami. Setiap hari juga kita tidak luput dari melakukan suatu yang sia-sia yang berulang tanpa sadar. Kesia-siaan yang dilakukan dengan sadar semacam berkisah perihal pekarangan yang kecil dan tersembunyi itu, dihadapan persawahan, perhutanan dan lautan yang besar dan terlihat yang hampir kalah dihadapan individulisme dan kapitalisme. Ku pikir jauh lebih keren ketimbang tidak sadar dan tidak sama sekali.

Sebelum individulisme dan kapitalisme menjadi-jadi dan menguasai seluruh Jagat kecil. Lalu ketidaksadaran menyergap dan menguasai kita. Meninggalkan pengingat adalah jalan yang baik dan perlu dicoba. Mari kita mulai.

Pekarangan dan perjumpaan aneka benih

Aku yang kecil, dulu hidup dengan gelimang jarak antar rumah yang rimbun. Pekarangan. Keberadaannya masih mendominasi. Pekarangan begitu kaya, tersedia bahan permainan, makanan, obat-obatan, dan aneka rupa tempat persembunyian nan mengasyikan. Contoh multikultur yang baik, dekat dan sejak dulu.

Aku barangkali masuk dalam generasi yang beruntung. Aku sedang tidak berusaha menjadi generasi tua atau generasi yang mengagungkan masa lalu secara over, mengutuk hari ini dan masa depan disetiap perjamuan. Yang berakhiran: “Baik duli Tuanku maupun pie penak jamanku toh?”

Aku sedang berusaha mengawetkan kenangan berpekarangan, yang sepertinya telah memberikan padaku suatu benih kesadaran ekologis. Benih yang sampai sekarang masih dan mesti terus menerus diusahakan keberadaannya, dirawat hingga rimbun dan dapat mengalahkan kerimbunan yang lain yang egois.

Benih itu dulu barangkali disisipkan oleh Waktu kecil. Aku kecil, dari waktu dan bentuk, yang suka mandi di selokan persawahan, di sungai dan pinggir-pinggirnya dengan lumpur sebagai lulurnya. Selain sebagai lulur, lumpur juga digunakan sebagai media mengelabui ketika peperangan di langsungkan. Bersenjatakan tanah liat yang dibikin bulat atau papak dor yang terbuat dari bambu yang sudah disiapkan sebelumnya. Papak dor bikinan sendiri lebih sakit, awet dan unik. Ketimbang beli di paman penjual papak dor di sekolah.

Membuat papak dor sendiri mesti melewati serangkaian mencari, memilih, dan menotong bambu. Aktivitas yang butuh waktu, gerak, dan ruang yang perlu dicuri-curi dari rumah dan sekolah. Selain itu, pengetahuan mengenai bambu perlu mumpuni. Kawan yang lebih tua biasanya mengawali, menuntun dan mencontohkan.

Berburu bambu tidak berhenti disitu saja. Berburu bambu berarti berpekarangan. Melewati kerumunan pisang, pohon jambu, kelapa, asam, johar, randu dan pohon lainya. Aku memanennya ketika lapar dan haus sembari menebak burung dengan mendengarkan nyanyiannya lalu mencari tempat hingganpya diikuti melihat detail warna dan gerak-geriknya, mengamati dedaunan johar penuh kepompong dan kupu-kupu mengambil daunnya yang berisi kepompong untuk ditetaskan dirumah dalam cepon, pohon randu dengan kapasnya yang gugur bertebaran, menandai ranting pohon jambu dan asam untuk dibikin ketapel kelak dengan mantra:”Cup ining-ining, sing njukut tangane kiting.” disaksikan temen-temenku, pun dengan temen-temenku.

Dari berpekarangan Aku mengetahui banyak mantra. Fungsi dan kegunaanya disesuaikan dengan aktivitas yang dilakukan. Sebagaimana mantra diatas digunakan untuk menandai apa saja yang dianggap milik kita sebab kita yang menemukan pertama kali. Berpekarangan di musim hujan kita juga dibekali mantra, meminta hujan agar semakin besar dan menambah keasyikan dengan mantra sebagai berikut: “Ge tauge udane sing gede.” Berulang-ulang dan bersama-sama. Ketika hujan berhasil berguyur, dingin telah berhasil menguasai pikiran, tiba saatnya kami untuk meminta hujan jadi reda dengan kembali bermantra: “Rang taurang udane sing terang.” Melewati deretan pepohonan keluar pekarangan menuju Ke rumah masing-masing sembari melihat-lihat barangkali ada burung hinggap kedinginan untuk dibawa pulang Jika aku dan temen-temen berhasil menangkapnya.

Dulu, sehabis dari pekarangan di akhir musim penghujan. Aku sampai rumah membawa dedaunan johar yang bergelantungan kepompong hasil dari pekarangan. Ku simpan dalam dua cepon yang saling menutup dibawah kolong tempat tidur. Rasa penasaran membuatku sering bolak balik menarik cepon tersebut dari kolong, melihat apakah kepompong sudah berubah jadi kupu-kupu semua. Berwarna hijau kekuning-kuningan, kupu-kupu dari daun johar ku lihati didalam dua cepon plastik yang saling menutup. Kemudian aku dan teman-teman berkumpul untuk melepaskannya.

Aku dilahirkan ketika pekarangan masih ditaburi rumah. Bukan sebaliknya seperti sekarang ini. Aku tidak menyaksikan anak-anak kecil berlarian dan bermain-main di pekarangan, menyimpan kepompong dan menyaksikan kupu-kupu dalam cepon. Dan sekarang aku tahu, kenapa dulu kita riang gembira dan bangga. Sebab kita berhasil membersamai proses metamorfosis kupu-kupu.

Berpekarangan adalah bermetamorfosis. Sekarang tinggal sebuah kisah ramah dan deket rumah yang musti berkelanjutan. Mengisakannya kembali adalah usaha mengingat dan mengenal kembali diri. Apakah benih telah membesar, berbuah dan dibagikan di zaman dimana pekarangan hendak menghilang. 

 

Diterbitkan pertama kali di Buletin Mlaku! Edisi XI, April 2020

Lelaki Penunjuk ditengah Air Mata

Sebelum hari tenggelam diantara jembatan yang ramai, jembatan yang memberikan kegagahan suatu kota, seorang lelaki duduk dengan sepeda model kekinian, dapat dan mudah dilipat, di sampingnya sambil menunjuk-nunjuk udara di depannya beriring air mata berlinang dan tatapan kosong. Seorang lelaki yang belum timbul kentara kerutan masa lalu di wajahnya apalagi usia matang di rambutnya.

***

Jembatan menghubungkan dua dunia terpisah, dunia lama yang ingin bergegas ke dunia baru. Dunia yang normal, dunia yang abnormal. Dunia yang umum, dunia yang khusus. Dunia yang mikro, dunia yang makro. Dunia yang datang, dunia yang pulang. Dunia merupakan sesuatu yang layak untuk disebut sebagai medan oposisi.

Sebuah dunia kadang jengah. Terserap dan terbuang sia-sia energinya dalam ketegangan yang lama, ambisi untuk selalu menang. Dunia yang sedikitpun tidak pernah tidak membutuhkan impian, harapan dan cita-cita dari pergumulan hidup yang direkayasa melalui Keterikatan, Keterasingan dan kesengsaraan dalam tempo waktu cukup lama yang dipertontonkan dengan model salin berulang-ulang dan terus-menerus.

Waktu yang terkumpul agaknya adalah balon-balon yang diisi udara saban hari. Tidak peduli musim hujan, kemarau ataupun pancaroba. Tidak Acuh pada kondisi dan jenis udara apa yang diisi oleh pengisi udara dalam balon. Udara dengan kandungan polutan melebihi ambang batas tiap jam sekaligus.

Di kesempatan yang lain udara yang demikian itu sedang menanti seberapa siap sang pengisi udara dalam balon menghadapi dampak keterulangan kelewat batas. Hakikatnya Polutan adalah hasil dari pembakaran tidak sempurna alat-alat pemudah kerja manusia- penggunaannya perlu kearifan, aktivitas melautkan gunung dan menggunungkan laut tiap detik. Hal tersebut terjadi akibat dominasi egoisme. Namun Pengisi udara dalam balon memiliki legalitas atas nama kemakmuran dan kesejahteraan.

Padahal konon pengisi udara adalah wujud akal tertinggi, rasio yang murni. Kata seorang guru di masa lalu. Segala inginnya tentu wujud kepastian yang siap sewaktu-waktu. Kehendak dan kekuasaannya murni demi kebaikan bersama. Lelaki penunjuk hidup di tengah kepungan pengisi udara dalam balon.

***

Lelaki penunjuk sedang mempertunjukan keterulangan yang sia-sia. Dunia khususnya barangkali berang melihat dunia umum yang sedang disaksikannya. Pikirku dalam hati ketika melewatinya lagi, sekian kali, di antara hilir mudik kendaraan jalan pantura Jawa.

Pertama kali ku saksikan dengan tidak begitu detail. Sebab Langit selalu mendung dan aku selalu tidak selamat dari basah kuyup setiba di rumah.

Banjir disiarkan menguasai hari dan banyak tempat. Kebijakan pencegahan banjir terbawa arus ke laut dengan segala pernak-pernik dan make upnya. Penanggulangan banjir sekedar dokumentasi turun tangan di tengah gelimang air mata yang menguntungkan-untuk tidak mengatakan berkah yang sekedar selesai dilaporan kegiatan.

Tuhan telah menakdirkan. Kesabaran adalah kunci. Begitu rasio yang murni, si pengisi udara dalam balon, memberi pernyataan. Berbela sungkawa dan melupakan janji-janjinya sembari menunjukan irasionalitas yang harusnya milik lelaki penunjuk sebagai manusia dan warga.

***

Wabah merambat bagai cahaya di udara ke seluruh dunia. Kematian mencapai berjuta-juta. Impian-impian mengejar-kuatkan lagi pertumbuhan, mencapai kemajuan dan kemakmuran yang sudah dan akan melahirkan ketidakharmonisan dan ketimpangan lenyap atau mungkin tertunda sementara. Ntahlah!

Semua fokus pada Wabah atas ulah makhluk kecil yang sebenarnya rentan tanpa tempat dan kondisi yang jumawa. Sesuatu yang rentan akan semakin menjalar dan kian kuat dalam ekosistem yang dipenuhi keangkuhan, kesewenang-wenangan dan ketidakadilan. Dunia mikro memang suatu representasi dari dunia makro. Kita tidak sanggup menghindarinya dan belum perlu mengutukinya.

Kemarin Ketika jalanan sedang sepi di waktu-waktu yang sama, tidak kusaksikan lagi seorang yang menujuk-nunjuk udara dengan sepeda kekinian di sampingnya sebagaimana biasa. Mungkin keluarganya, salah satu dari yang positif dan dia masuk ke daftar orang atau pasien dalam pengawasan. Atau keluarganya menerapkan pembatasan fisik yang ketat sehingga dia, Lelaki penunjuk, tidak diizinkan keluar rumah. Ada banyak kemungkinan dalam lelaki penunjuk bagi Aku yang tidak mengetahuinya dengan betul. Dunia memang nyatanya sesuatu yang tidak pernah selesai diketahui dan berisi ragam kemungkinan yang senantiasa ada.

Dan lagi-lagi akal tertinggi, si pengisi udara dalam balon, tidak jelas sikap dan tindaknya. Cara dan pernyataan menanggapi wabah sebentuk gimmick basi yang diulang-ulang dengan harapan mendulang untung di tengah air mata yang berlinang baik di media konvensional maupun online- kita pada saat ini, zaman 4.0, belum bisa lepas dari cengkraman media. Jangan panik dan blablabla sederet kalimat perintah harusnya milik warga dan sesamanya direbut dan dipakainya juga. Tidak ada kalimat yang terukur, tepat dan masuk akal sebagai perwujudan akal tertinggi yang berisi kepastian dan keyakinan.

Sebagai si pengisi udara dalam balon dengan akal tertingginya, ia gagal membuktikan teori si guru dengan murid yang membayangkan masyarakat sama rata sama rasa. Atau malah si murid sedang benar, sebuah peristiwa akal tertinggi yang dikusai pemilik modal, balonnya sedang meledak dan menunggu para buruh mengambil alih.

Semua adalah kemungkinan di dalam kondisi yang dipenuhi ketidakpastian dan ketidakjelasan yang diciptakan oleh si pengisi udara dalam balon sendiri. Sebagaimana lelaki penunjuk dalam diriku yang tidak ku telisik lebih jauh dan pastikan keberadaannya selama ini.

Aktivitasnya menujuk-nunjuk udara Apakah benar, keterulangan yang sia-sia atau usaha menyadarkan para pengendara perihal dunia yang tercemar. Dunia yang perlu melakukan perubahan dan perpindahan. Dunia yang butuh membangun jembatan kesadaran baru. Dunia yang perlu dihidupi dengan oposisi.

Aku semakin terdorong membayangkan aneka kemungkinan ketika air mata semakin melimpah ruah, semakin sering ditanggapi sebagai sesuatu yang materi dan eksistensial oleh si pengisi udara dalam balon dengan akal tertingginya.

Pembayanganku dari banyak pembayangan, salah satunya yakni Lelaki penunjuk sedang menunjukan dirinya adalah seorang yang butuh ditunjuk, diberi perhatian, diberi ruang dan Kebebasan dengan kebutuhan khusus yang melekat padanya dengan layak dan manusiawi. Bagai udara yang membersamai kehidupan di bumi.

Eh, kemarin. aku baru saja melihatnya kembali. Lelaki penunjuk tidak menunjuk-nunjuk udara lagi melainkan ke dirinya sendiri di jalanan yang mulai kembali ramai dan positif wabah semakian menunjukan peningkatan trend grafiknya.

Diterbitkan pertama kali di Buletin Mlaku! Edisi X, April 2020

Pria

Aku adalah pria. Pengakuan merupakan sebuah modal ke-ada-an. Walau seseorang pernah berkata sebagai kebutuhan. Aku yang mengaku. Bakal menjalini keakuan yang sungguh-sungguh. Aku akan giat menunjukan dalam laku menjalani hidup yang sehari-hari.

Aku yang pria tentu berbeda dengan wanita. Secara biologis, aku tak berahim, wanita berahim. Itu titik utama pembedanya yang menurunkan pembeda-pembeda biologis yang lain. Namun titik itu ternyata menjadi dasar pembeda bagi yang lain seperti sosial, ekonomi, politik dan budaya. Sesuatu yang berada di luar tubuh biologis.

Hal tersebut membuat aku yang pria merasa diuntungkan, menjadi dalam posisi kuat. Hanya karena kondisi biologis yang berbeda, aku bisa memenangkan banyak hal dari wanita.

Sesuatu yang menguntungkan dan membikin kemenangan perlu dijaga, dilanggengkan dan diwariskan. Jika digunakan rumusan “homo homini lupus” atau “yang kuat yang akan bertahan”.

***

Tidak ada semboyan atau kata yang dimiliki pria dalam menuntut keadilan gender. Seperti misalnya domestifikasi, subordinasi, kelas kedua dll atau maskulinisme. Tidak ada persatuan, kelompok, organisasi ataupun club yang dibuat pria untuk memeperjuangkan dirinya. Sebab, Pria adalah pemenang.

Pria dan wanita adalah manusia. Makhluk yang paling egois katanya adalah manusia. Keegoisan aku, pria, untuk selalu memenangkan diri dari wanita merupakan suatu yang manusiawi.

Aku, pria, akan manusiawi juga ketika memilih tidak egois, di waktu yang lain, dengan wanita. Pun sebaliknya dengan wanita.

Tugas masing-masing sepertinya menerima satu sama lain secara manusiawi dan selalu menyadari sedang menjalani diri sebagai manusia . Dan Itu sangat susah .

Diterbitkan pertama kali di Buletin Mlaku! Edisi IX, April 2020

Kembali Ke Rumah

COVID-19 memperkenalkan kita pada kata baru misalnya lockdown dan sosial distancing. Selain itu, pemerintah ternyata mempunyai UU Kekarantinaan yang selama ini tidak kita ketahui sebagai warga negara yang bayar pajak dan selalu menaati perintah pemerintah. Walau begitu kita mesti kembali ke rumah. Sebagai warga negara yang lagi-lagi baik hati dan taat.

Kita diharapkan untuk tetap di rumah. Lekas kembali ke rumah sehabis bepergian karena sesuatu yang mendesak. Cukup di rumah saja jika memungkinkan. Jauhilah kerumunan.
Setelah kita mencoba menaati perintah dan melihat hastag, jangan panik, jangan takut, tetap waspada, yang disebarkan pemerintah. Oh, ternyata COVID-19 itu takut Jika kita di rumah. Dari yang sudah-sudah. Data menunjukan dengan angka-angka mengecil dan garis-garis menurun secara terus menerus ketika semua tetap di rumah.

Wah ampuh juga yah. Cukup di rumah saja membuat COVID-19 menciut nyalinya dan takut. Maka Jika COVID-19 menyebarluas itu berkat kebebalan kita dong pastinya. Sebab tidak lagi menaati perintah dan percaya kepada data. Eh, tapi ngomong-ngomong rumah itu apa toh? Kok bisa bikin COVID-19 berhenti penyebarannya. Terus Apa selama ini kita sudah berumah? Maka diharapkan untuk kembali ke rumah. Eh kayanya, tidak tahu ah. Tidak baik banyak berkayanya ditengah situasi begini. Memperkeruh.

Rumah

Rumah itu bangunan. Ada kamar mandi, kamar tidur, ruang tengah dan dapur, boleh diberi halaman kalau berlahan luas, tidak berhalaman tidak apa-apa kok. Jadi rumah itu lahan. Berumah selain berbangunan berarti berlahan.

Tapi kok COVID-19 tidak bisa ke rumah. Wong rumah hanya bangunan dan lahan, sesuatu yang fisik, yang kelihatan. Kota dan Negara, yang sudah-sudah, saja bisa didatangi, dijebol dan dibikin sakit dan panik seluruh warganya. Lah ini malah kita disuruh Kembali ke rumah, kayanya tidak solutif blas, hanya selebrasi deh, suatu sikap gagap, buang-buang makanan saja. Lah, Yang benar rumah itu apa?

Begini deh, Rumah itu bapak, ibu dan anak. Rumah adalah keluarga. Dimanapun kita berada jika merasakan kehadiran ibu, bapak dan anak, kita sudah berumah. Kita sudah kembali. Tidak berjarak lagi.

Semakin membingungkan, mumeti, tidak real apalagi berbasis data. Ada loh bapak, ibu dan anak, semua positif COVID-19. Itu tetangga sebelah juga, perantau dari kota M pernah bilang semua adalah keluarga, dia juga mengatakan menemukan bapak, ibu dan anak sekaligus disini. Eh, dia positif juga. Rumah seperti itu mengada-ada, bukan yang dimaksudkan pemerintah yang bisa mencegah menyebarnya COVID-19, kayanya deh. Yah, kayanya lagi.

Dan yang tidak berjarak itu, bagaimana. Hukumnya kan begini. Semakin sesuatu tidak berjarak semakin tidak nampak, susah terlihat dan Lama-kelamaan bikin pusing. Tidak percaya. Buktikan saja sendiri, ambil buku dan baca dengan nol jarak atau lima sampai satu centimeter. Pusing dan sakit toh.

Ah, rumah yang menghadirkan orang lain begitu, butuh energi untuk membangun saling pengertian satu sama lain biar bisa satu frekuensi. Apalagi bapak, ibu dan anak, kata yang selama ini sudah melanggengkan kekuasaan dan menegasikan Kebebasan satu sama lain.

Saling menyadari satu sama lain dan saling membuka dialog dalam mengatasi segala hal dalam kehidupan. Itu suatu yang mungkin namun susah dijalankan tanpa terlebih dahulu membangun kesadaran diri masing-masing.

Kalaupun terjalin atau terbangun rumah, memungkinkan terjadinya ketergantungan subjek pada rumah. Dengan kata lain subjek menjadi objek, subjek mengalami objektifikasi diri, akhirnya mengalami alienasi diri, subjek tidak tahu siapa dirinya. Subjek melakukan bunuh diri demi yang disebutnya rumah. Tidak manusiawi bukan. Dan hanya menghidupkan dan mensahihkan saja kekamian, yang setali dengan ego kelompok, golongan, sektoral, organisasi, kampung, Desa, Kota, partai, ideologi, agama, bangsa dan Negara.

Oh begitu toh. Okey, ku usahakan lagi. Rumah ialah Aku yang diusahakan terus menerus dengan Aku yang lain. Bagaimana? Kembali ke rumah dengan kata lain kembali ke diri sendiri yang bebas dan menyadari dimanapun dan dengan siapapun.

Tidak ada penegasian baik pada diri maupun sang lian. Semua saling berbagi proses dan ruang menjadi. Tidak sikut menyikut, terpaksa, merasa terbebani dalam melakukan sesuatu yang berakibat pada munculnya sifat ngeyelan, reaktif dan menyakiti diri sendiri bahkan orang lain.

Ini lebih masuk akal sepertinya dengan kembali ke atau tetap di rumah yang berkorelasi terhadap menurunnya trend atau menghentikan penyebaran kasus COVID-19. Setiap aku sadar dan tahu kapan dan dimana musti bersikap, bertindak dan bertempat. Saling percaya satu sama lain, saling membuka dialog dan saling menopang satu sama lain untuk selalu menjadi, selalu berumah.

Sebab, Aku tidak membiarkan egoisme menguasai. Sikap yang membolehkan aman, untung dan selamat untuk diri sendiri. Tidak memikirkan orang lain sebagai aku yang berhak sadar dan tahu dan menjadi terus menerus bersama Aku yang lain.

Aku yang egois adalah yang sepakat bahwa Aku adalah mangsa bagi Aku yang lain. Aku yang menganggap rumah adalah bangunan atau sebuah hubungan penaklukan, penguasaan dan pengenyah Kebebasan.

Jadi bukan karena aku baik hati dan taat pada perintah Pemerintah akhirnya kembali ke atau tetap di rumah. Aku adalah rumah itu sendiri dan sudah lama di rumah. Hanya saja keculasan, kerakusan, kezhaliman dan ketidakpedulian bikin Aku lupa. Aku meninggalkan Rumah dan tak mencatat alamat Rumah untuk ditaruh di saku celana. COVID-19 sedikit-sedikit membuat ku ingat dan menggerakan kaki demi kaki untuk segera menuju Ke rumah.

*Diterbitkan pertama kali di Buletin Mlaku ! Edisi VIII, April 2020