Kota Tumbuh di Atas Pohon

-1-

Inilah sang calon tuan tanah dengan sejuta pohon: Jorge de Figueiredo Correia. Syahdan, Raja Portugal mengibahkan satu wilayah kepadanya sebagai tanda persahabatan. Tak hanya memberi itu, sang raja juga memberikan penduduk liar dan pohon-pohon rimba Brasil. Lantas Matahari menampakan dirinya, pohon kakao berhasil mengubah wajah hutan belantara yang beraneka ragam menjadi satu warna. Pohon dibawa oleh para kolonial dari Eropa pada abad 19. Masa panen pun tiba, kuning keemasan menggantung dimana-mana, kakao mendulang untung begitu menjanjikan. Ia mengubah kota, jalan-jalan dibangun, toko-toko mulai berjejejar, restoran dan bar pun tumbuh, orang-orang senang berkunjung. Inilah kisah kolonialisme dengan basis pepohonan pada abad ke-19—sejarah yang sebenarnya terjadi sekian abad di beberapa wilayah, termasuk di Indonesia.

Semenetara itu, Najib sebagai salah satu warga yang menggantungkan hidup pada bar, ditinggal tukang masaknya, seorang perempuan tua bernama Filomena, di tengah kota yang sedang mangalami kemajuan pesat. Gabriel, gadis berkulit kayu manis dan beraroma cengkih, adalah salah satu rombongan orang pedalaman yang sedang melakukan perjalanan untuk mengadu nasib di kota kakao, Ilheus. Di tengah perjalanan mencari tukang masak Najib bertemu dengan Kolonel Ramiro Bastos pemilik perkebunan kakao yang luas, yang pernah menjadi wali kota dua periode, sedang duduk di Plaza Seabra menikmati secangkir kopi. Najib dipaksa berhenti dan mendengarkan kegeramannya pada Mundinho Falcao si pendatang baru banyak tingkah yang tengah berusaha menggeser pengaruhnya.

Jorge de Figueiredo Correia, Kolonel Ramiro Bastos, dan penduduk Ilheus lainnya adalah kisah-kisah manusia yang hidup di atas pohon kakao. Kisah kehidupan mereka ditulis oleh Jorge Amando dengan memukau dalam Gabriela, Cengkih dan Kayu Manis (2014). Saat kita membacanya, kita mendapat petunjuk perihal tumbuhnya kota di daratan Amerika, Brasil, Ilheus. Negeri dalam gambaran Eropa dipenuhi penduduk liar, suku Indian, dan pohon-pohon rimba. Ilheus menjadi kota pertama kali berkat penanaman tebu dan pendirian pabrik gula melalui pembantaian dan perbudakan atas penduduk liar setempat. Tanah menemui tandus dan mati. Tanpa diduga muncul kakao pertama. Pembiakan skala besar kakao dilangsungkan melalui binatang kinkajou.

Kakao menjadi primadona. Semua orang berebut ingin memiliki perkebunan dan menanamnya. Kota Ilheus melaju cepat. Ekonominya naik, infrastruktur membaik, muncul organisasi sosial masyarakat berdasar minat dan kesukaan, perpolitikan menjadi dinamis dan kebudayaan tumbuh. Kakao dengan telak mengganti tebu dan mengubah kota lesu kembali segar dan semakin garang melebihi awal munculnya.

-2-

Kota di atas pohon

Dengan punggung telanjang di bawah matahari yang membakar, para pekerja memetik buah kakao dari pohon dengan sabit yang diikatkan pada tiang panjang. Pekerjaan itu dimulai saat fajar menyingsing berlanjut hingga senja, nyaris tanpa waktu istirahat pada tengah hari. Kolonel Melk Tavares, yang menunggangi kudanya dan diikuti oleh mandornya, berkuda melewati pepohonan kakao mengawasi pekerjaan. Sesekali dia turun memarahi kaum perempuan dan anak-anak. “Kemalasan macam apa yang terjadi di sini? Cepatlah naik ke sana!” Cepatlah, dasar perempuan. Bersantailah ketika kau mencari kutu, bukan ketika kau membelah kakao.” Kolonel berkeliling kembali, meneliti pepohonan. “Siapa menggarap bagian ini?” para pekerja menoleh untuk melihat dan Fagundes si negro menjawab. “Aku.” “Kemarilah.” Kolonel  menunjuk pepohonan. Di antara dedunan rimbun dahan-dahan tertinggi, beberapa buah masih terlihat. “siapa yang membayarmu, binatang kinkajou atau aku? Menurutmu, aku menanam untuk mereka? Dasar gelandangan pemalas, kerjaanmu cuma pergi ke kota mabuk-mabukan.”

Kolonel Melk Tavares, para pekerja dan fagundes rerpresentasi perihal kemajuan kota dicapai melalui cara-cara kekerasan dan tidak manusiawi. Pohon sebagai seimbol keteduhan dan mengayomi tak meresap dalam sanubari, diselewengkan atas nama keuntungan. Kemajuan kota ternyata menghasilkan manusia-manusia yang takut, kesepian dan frustasi. Hal tersebut juga terjadi di Indonesia yang kisahkan oleh Multatuli dalam novelnya berjudul Max Havelaar perihal penanaman tanaman kopi.

Kota berkembangbiak atas gairah menanam. Sudah pasti menanam tanaman paling menguntungkan. Pertimbangan untung rugi merupakan alasan yang tepat untuk menerapkan sistem monokultur. Sistem monokultur anak kandung industrialisasi membawa mesin dan efisiensi. Ia menghilangkan keaneka ragaman hayati, menghadirkan dengan cepat hama dan penyakit tanaman dan mengancurkan keseimbangan alami ekosistem dunia.

Manusia befikir keras menanggulangi, menyembuhkan tanaman, menstabilkan bahkan meningkatkan produksi. Dengan jalan merancang dan membangun industri obat tanaman tidak ramah lingkungan. Udara lusuh, air keruh dan berbau dan tanah mendekati mandul. Lagi, manusia berfikir dan berikhtiar menyuburkan tanah, membuat ramuan dengan efek samping mengancam, tidak begitu dihiraukan.

Kolonel Ramiro memahami dan bisa menerima kabaret, pesta pora gila-gilaan dalam kehidupan malam di ilheus. Kaum lelaki memerlukan ini: dia sendiri pernah muda. Yang tidak bisa dipahaminya adalah klub tempat kaum lelaki dan perempuan mengobrol hingga larut malam, tempat mereka menarikan dansa-dansa baru itu (jika bisa disebut sebagai dansa), temapat kaum perempuan bersuami berputar-putar dalam pelukan lelaki yang bukan suami mereka- itu cabul!

Cara pandang, sikap dan perilaku manusia turut serta berubah seiring berubahnya kota. Sebab penanaman tanaman secara monokultural merupakan buah dari Industrialisasi. Monokultural sistem penamaman yang mementingkan diri sendiri merasuk dalam kota dan manusianya.

Alam memiliki hukum sendiri untuk memungkinkan kelangsungan ekosistem yaitu persaingan, kelaparan, pemangsaan dan penyakit.  Manusia gigih mengatasi dengan semangat untung sendiri. Keberhasilan mengatasi pemangsaan telah dilakukan manusia jauh-jauh hari, ketika cara hidup berpindah-pindah resmi ditinggalkan. Manusia menyatukan diri mengatasi kendali alamiah, persaingan, dengan mendirikan kawanan penjaga perdamaian.

Sisi lain keingingan menanam berbanding lurus dengan keinginan memiliki lahan. Pastilah terjadi pengalihfungsian lahan. Perkebunan meluas, kebutuhan akan pekerja meningkat, para pekerja berduyun berdatangan. Sebagaimana peribahasa “Ada gula ada semut”. Kota tumbuh pesat, berbuah manis mengundang manusia untuk mengadu nasib dan menetap. Sebagiamana tergambar dalam novel berjudul Gabriel, Cengkih dan Kayu Manis. Mari kita simak: “kota berkilau oleh etalase toko-toko yang terang dan berwarna –warni; banyak toko baru dibuka; para penjaja barang menjelajahi desa dan hanya muncul di ilheus di pasar tumpah mingguan.”

Kota membutuhkan lahan untuk memenuhi ledakan penghuni. Lahan menipis, kota mencari cara, membangun dengan sedikit lahan, menyusunnya menuju angkasa. Menipisnya lahan akibat pembangunan membuat aneka macam mahkluk hidup selain manusia kehilangan tempat tinggal, bermigrasi atau tetap tinggal dengan perubahan sikap yang penuh anomali. Jamak kita lihat akhir-akhir ini, monyet berkeliaran di jalanan unjuk gigi, mengendarai sepeda, pergi ke pasar, menari dan menenteng kotak berisi pundi-pundi rupiah menghampiri para penonton bahkan pengguna jalan. Keanomalian juga terjadi pada bajing dalam buku karangan seno gumira ajidarma berjudul Tiada Ojeg di Paris (2015). Mari kita simak: “suatu pagi, sekilas terlihat oleh saya seekor bajing berlari di atas kebel listrik tebal yang melintang di atas jalan. Jalan yang saya lalui pagi itu adalah suatu jalan tembus, tentu saja semua orang ingin memanfaatkanya. Sehingga dengan segera jalan tembus itu lantas berkategori “padat merayap”-artinya di dalam mobil yang merayap perlahan-lahan, saya bisa berpikir sejenak tentang makna keberadaan bajing yang berlari lincah di atas kabel listri itu.”

Kota melupa muasal dari pohon. Sejatinya pohon adalah mahluk yang senantiasa menghidupi dan memberikan keseimbangan. Pesatnya kota menghadirkan juga anomali dalam kehidupan manusia. Tumbuhnya ketimpangan ekonomi, yang kaya makin kaya yang miskin makin miskin, berimbas pula pada ketimpangan sosial. Kota menjadi garang. Pencopetan, perampokan, pemerkosaan dan pembunuhan menghias di sudut-sudutnya. Manusia menjadi gersang, tersedot energinya hanya untuk bekerja siang malam. Sebagaimana terungkap dalam puisinya kuntowijoyo berjudul Kota (1976): Kotaku yang jauh/ padam lampu-lampunya/ angin menerpa/lorong-lorong jelaga/ kotaku yang jauh/ menyerah pada malam/ seperti di siang hari/ia menyerah pada kekosongan/ Tuhan/ nyalakan neon-neon itu.

Kota dan Kerinduan pada Pohon 

Kota sudah panas dan pengap. Ia tergantikan asap pekat yang menyembul-nyembul ke singgasana tuhan dan manusia. Kota telah lama berjarak pada pohon. Rindu adalah hadirnya jarak yang awalnya satu antara dua entitas lantas mengalami pemisahan. Kota mengharap kehadiran pohon, ia merindunya. Kerinduan kota terekam dalam gambar pohon yang terpampang di mall-mall, grafiti, papan iklan perumahan dan tiang listrik dengan hiasan daun-daun sintesis.

Kota mengatasi kerinduan lalu kesepian pada pohon dengan gerakan membangun seribu taman ataupun hutan dalam kota. Satu sisi, kita jumpai di pinggir-pinggir kota aktivitas pembabatan hutan dan penanaman beton masih terus berjalan. Kerinduan kota pada pohon ternyata hanya manipulasi, sementara waktu. Tidak mewujud dalam laku. Bukan kerinduan.

Kesia-sian merindukan pohon dapat kita temukan dalam puisinya Abdul Wahid B.S yang berjudul Opera Pohon: Hampir seluruh jalan yang/ berlari, kukejar dan aku bersama istri/ dan anaku, menghianati kepedihan pohon-pohon/ yang telah terbongkar traktor, demi keindahan yang/ lain, dan atas nama modernisasi/ mungkin di situ telah kudengar ada isakan/ tangis darah yang mengalir atau percakapan/ percakapan nasib yang mulai mengering/ atau seperti ada suara-suara pertempuran yang/ tak pernah selesai dan di sana aku masih menjeritkan adzan di atas debu-debu/ atau lintah yang perlahan mengambang/ dalam matamu!

(Dimuat dalam Buku REMBUYUNG : Sehimpun Esai Sastra Dan Flora Oleh Penerbit Taman Budaya Jawa Tengah dan Bilik Literasi)